loading...
Lebaran sebentar lagi tiba. Sudah menjadi tradisi jika orang yang lebih tua memberi angpao atau uang saku untuk saudara-saudara yang lebih muda. Jumlahnya terkadang tak seberapa, tapi cukup membuat mereka senang. Terlebih, uang yang diberikan adalah uang yang masih baru dan masih licin.
Begitu mudahnya ketika menukarkan uang pecahan dengan nominal yang besar dengan uang pecahan dengan nilai yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan ada jasa penukaran uang baru yang biasanya berdiri di pinggir jalan.
Penukaran uang receh jelang lebaran / Gambar via rri.co.id |
Biasanya, ketika menukarkan uang dengan nominal Rp 100.000 dengan uang pecahan Rp 5.000, yang kita terima bukanlah uang pecahan Rp 5.000 penuh dengan jumlah 20, jadi jumlahnya hanya Rp 95.000, ada pemotongannya. Apakah hal ini riba?
Dalam hal ini, ada dua pendapat dari ulama. Ulama kontemporer menganggap hal ini haram, karena sama dengan riba. Sebaliknya, ada pula ulama yang memperbolehkan, tentu saja dengan maksud dan tujuan tertentu.
Ulama yang mengharamkan hal ini berpedoman pada hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma, garam dengan garam. Semua harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai"." (HR Muslim)
Para ulama mendefinisikan ini sebagai riba fadhl, yaitu kelebihan pada jenis yang sama dari harta ribawi, apabila keduanya dipertukarkan. Riba fadhl terjadi hanya jika dua jenis barang yang sama dipertukarkan dengan ukuran yang berbeda, akibat adanya perbedaan kualitas diantara keduanya.
Kalau kedua barang itu punya ukuran sama dan kualitas yang sama, tentu bukan termasuk riba fadhl. Misalnya, pertukaran dua benda dengan wujud yang sama tapi beda ukuran adalah emas seberat 150 gram ditukar dengan emas seberat 100 gram secara langsung.
Dimana emas 150 gram kualitasnya hanya 22 karat, sedangkan emas 100 gram kualitasnya 24 karat. Jika pertukaran langsung benda sejenis beda ukuran ini dilakukan, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl dan hukumnya haram.
Meski dalam contoh ini adalah emas dan bukan uang kertas, tapi para ulama yang menganut kepercayaan ini sepakat bahwa tukar menukar dengan barang yang sama tapi nilainya berbeda adalah haram.
Sedangkan bagi ulama yang memperbolehkan penukaran uang ini berlandaskan pada dasar-dasar yang juga sah. Ada dua alasan, yang pertama karena uang kertas tidak termasuk dalam enam jenis harta.
Menurut mereka, keharaman riba fadhl itu hanya terbatas pada enam jenis benda yang disebutkan dalam hadits, yaitu emas, perak, gandum, barley, kurma, dan garam. Sedangkan uang kertas tidak termasuk.
Sedangkan alasan kedua, adalah karena uang yang kita tukarkan itu tidak sama secara fisik. Misalnya, uang Rp 100.000 ditukarkan dengan uang logam, tentu sudah berbeda bentuknya dan tidak sejenis.
Meski dua pendapat ini sama-sama kuat, jalan tengah bukanlah ikut yang haram ataupun yang halal. Cara yang bisa kita ambil adalah menukarkan uang kita ke Bank Indonesia. Biasanya, Bank Indonesia menyediakan pos-pos untuk penukaran uang receh dan tanpa potongan apapun. Artinya jika kita menukar uang Rp 3.000.000 maka kita akan dapat receh Rp 3.000.000 utuh.
Tapi jika malas mengantri untuk menukarkan uang receh, bisa minta tolong kepada orang untuk mengantrikannya. Sebagai balasan kepada orang tersebut untuk antri, kita bisa memberinya uang upah. Ingat, akadnya adalah upah, bukan potongan. Katakan saja sebagai uang lelah karena ia telah membantu kita mengantri.
Jadi, uang yang kita tukarkan masih tetap utuh Rp 3.000.000, dan kita menyediakan uang khusus untuk orang yang sudah mengantrikan untuk kita, dengan akad upah, bukan uang catutan atau kutipan.
Wallahu a'lam bishawab.
sumber : http://www.catatankecilku.net/2016/06/apakah-riba-menukar-uang-receh-untuk.html